Gunung Susuru sebagai patilasan
Kerajaan Galuh Kertabumi dijadikan dasar pertimbangan bahwa Singaperbangsa I
yang merupakan cicit Prabu Dimuntur di Kertabumi adalah tokoh yang memindahkan
pusat pemerintahan dari Galuh Kertabumi ke Banjar Pataruman, sehingga
Singaperbangsa I dianggap sebagai peletak dasar berdirinya kota Banjar.
Sebelum Belanda menerapkan
Culturestelsel di Galuh, Gunung Susuru merupakan kawasan hutan lebat yang sudah
disakralkan oleh masyarakat sekitarnya. Bagian kaki bukit Gunung Susuru dikelilingi
rapat oleh pohon Susuru, yaitu sejenis kaktus yang tumbuh merambat dan setiap batangnya
saling menjalin sehingga membentuk pagar yang sulit ditembus. Maka masih banyak
binatang liar di kawasan Gunung Susuru seperti babi hutan, rusa, kijang,
landak, monyet, dll. Sebagai kawasan yang disakralkan, masyarakat masih
melakukan ritual pemujaan walau saat itu agama Islam sudah berkembang pesat.
Kebiasaan muja dan munjung
dalam pemahaman religi sunda kuno memiliki makna berbeda dengan saat ini yang
dianggap berkonotasi bersekutu dengan makhluk halus untuk mendapatkan keinginan
dengan cara sepat. Muja dan munjung pada ajaran wiwitan pada hakekatnya
merupakan kegiatan spiritual kepada Sanghyang Tunggal. Oleh karena itu ketika
Kanjeng Prabu berkuasa dan syiar Islam semakin ditingkatkan, tradisi religi
yang dianggap bersebrangan dengan akidah Islam dikikis secara perlahan dengan
pendekatan yang bijak.
Saat tanam paksa diberlakukan
abad 19, maka Gunung Susuru dijadikan perkebunan jati oleh Belanda untuk
menyuplai kebutuhan kayu di Galuh yang saat itu tengah membangun berbagai
sarana umum. Namun karena pertumbuhan jati di Gunung Susuru kurang berkembang
karena dianggap lambat pertumbuhannya maka kemudian terbengkalai tidak terurus.
Pohon – pohon jati yang tumbuh dimasa berikutnya tumbuh dari tunas dari pohon
yang sudah ditebang sehingga kawasan tersebut ribun kembali. Keadaan itu masih
berlangsung sampai 1960. Dan kegiatan muja sebagai media ngalap berkah leluhur
bertransformasi dalam konsep jiarah dari Gunung Susuru ke Makam Prabu Dimuntur.
Beberapa lokasi yang dikenal sebagai batu patapaan masih terjaga sebagai tempat
sakral dan digunakan sebagai bagian dari kebiasaan jiarah yang masih disebut
dengan kata muja. Di Gunung Susuru ritual yang dilakukan disebut Ngabungbang
yang dilaksanakan pada Malam Jum’at dan Senin Kliwon, siang harinya dilanjutkan
dengan mandi di Patimuan, Sumur Taman, Sumur Cikahuripan dan Tawasulan di Makam
Prabudimuntur. Beberapa tempat lain yang Disakralkan dan menjadi bagian dari
kegiatan riyual diantaranya Sumur Malati, Sumur Batu, Cibeji, Curug Dengdeng,
dan Kabuyutan Jalaksana. Semua tempat sakral tersebut tersebar di 4 Dusun,
yaitu Dusun Desa, Bunder, Sukamulya dan Nagrog.