Selasa, 25 Juni 2019

Situs Gunung Susuru yang berlokasi di Dusun Bunder Desa Kertabumi









Gunung Susuru sebagai patilasan Kerajaan Galuh Kertabumi dijadikan dasar pertimbangan bahwa Singaperbangsa I yang merupakan cicit Prabu Dimuntur di Kertabumi adalah tokoh yang memindahkan pusat pemerintahan dari Galuh Kertabumi ke Banjar Pataruman, sehingga Singaperbangsa I dianggap sebagai peletak dasar berdirinya kota Banjar.
Sebelum Belanda menerapkan Culturestelsel di Galuh, Gunung Susuru merupakan kawasan hutan lebat yang sudah disakralkan oleh masyarakat sekitarnya. Bagian kaki bukit Gunung Susuru dikelilingi rapat oleh pohon Susuru, yaitu sejenis kaktus yang tumbuh merambat dan setiap batangnya saling menjalin sehingga membentuk pagar yang sulit ditembus. Maka masih banyak binatang liar di kawasan Gunung Susuru seperti babi hutan, rusa, kijang, landak, monyet, dll. Sebagai kawasan yang disakralkan, masyarakat masih melakukan ritual pemujaan walau saat itu agama Islam sudah berkembang pesat.
Kebiasaan muja dan munjung dalam pemahaman religi sunda kuno memiliki makna berbeda dengan saat ini yang dianggap berkonotasi bersekutu dengan makhluk halus untuk mendapatkan keinginan dengan cara sepat. Muja dan munjung pada ajaran wiwitan pada hakekatnya merupakan kegiatan spiritual kepada Sanghyang Tunggal. Oleh karena itu ketika Kanjeng Prabu berkuasa dan syiar Islam semakin ditingkatkan, tradisi religi yang dianggap bersebrangan dengan akidah Islam dikikis secara perlahan dengan pendekatan yang bijak.
Saat tanam paksa diberlakukan abad 19, maka Gunung Susuru dijadikan perkebunan jati oleh Belanda untuk menyuplai kebutuhan kayu di Galuh yang saat itu tengah membangun berbagai sarana umum. Namun karena pertumbuhan jati di Gunung Susuru kurang berkembang karena dianggap lambat pertumbuhannya maka kemudian terbengkalai tidak terurus. Pohon – pohon jati yang tumbuh dimasa berikutnya tumbuh dari tunas dari pohon yang sudah ditebang sehingga kawasan tersebut ribun kembali. Keadaan itu masih berlangsung sampai 1960. Dan kegiatan muja sebagai media ngalap berkah leluhur bertransformasi dalam konsep jiarah dari Gunung Susuru ke Makam Prabu Dimuntur. Beberapa lokasi yang dikenal sebagai batu patapaan masih terjaga sebagai tempat sakral dan digunakan sebagai bagian dari kebiasaan jiarah yang masih disebut dengan kata muja. Di Gunung Susuru ritual yang dilakukan disebut Ngabungbang yang dilaksanakan pada Malam Jum’at dan Senin Kliwon, siang harinya dilanjutkan dengan mandi di Patimuan, Sumur Taman, Sumur Cikahuripan dan Tawasulan di Makam Prabudimuntur. Beberapa tempat lain yang Disakralkan dan menjadi bagian dari kegiatan riyual diantaranya Sumur Malati, Sumur Batu, Cibeji, Curug Dengdeng, dan Kabuyutan Jalaksana. Semua tempat sakral tersebut tersebar di 4 Dusun, yaitu Dusun Desa, Bunder, Sukamulya dan Nagrog.



Sosialisasi Pendataan, Penyusunan dan Pemutakhiran Profil Desa




29-05-2019 Pembagian Insentif Ketua RW dan Ketua RT